Rabu, 06 Agustus 2008

Rara Mendut, Sebuah Trilogi

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Y.B. Mangunwijaya
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008
Tebal 799 halaman

Sebuah kisah rakyat yang dikembangkan dari Babad Tanah Jawi dan berbagai sumber oleh Y. B. Mangunwijaya atau biasa kita kenal dengan sebutan Romo Mangun.

Novel sejarah bersetting era Sultan Agung (abad XVII), terbit pertama kali tahun 1982 sebagai cerita bersambung di harian Kompas, bahkan sempat difilmkan tahun 1983.

Buku Pertama : Mendut, gadis molek dari pantai dari kampung nelayan Teluk Cikal, suatu hari mendapat kehormatan untuk menjadi selir Adipati Pragola, penguasa Kadipaten Pati.  Sebagai calon selir, Rara Mendut berada dibawah asuhan seorang dayang “senior”  Ni Semangka yang dibantu oleh seorang dayang muda, Genduk Duku, yang pandai berkuda (ibunya berasal dari Pulau Bima yang memang terkenal dengan kuda-kuda terbaiknya).

Belumlah sempat Rara Mendut menjadi Garwa Adipati Pragola, pihak Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung  Wiraguna telah menyerang Pati. Rara Mendut dan seisi keputren diboyong ke ibukota Mataran sebagai budak rampasan perang. Kemolekan Mendut, membuat Tumenggung Wiraguna mabuk kepayang, dan menginginkan Rara Mendut sebagai selirnya.

Sikap Mendut yang pembangkang dan berkeras menolak menjadi selirnya membuat Wiraguna murka.  Mendut diwajibkan membayar pajak. Mendut memilih membayar pajak ketimbang harus menjadi selir Wiraguna. Untuk membayar pajak, Rara Mendut dibantu 2 dayang setianya, kemudian berdagang rokok di pasar. Bukan sekedar rokok, tapi lebih tepatnya puntung rokok bekas isapan Den Rara Mendut yang ayu, yang kemudian laku keras di pasar. Rara Mendut dipertemukan kembali dengan Pranacitra, putra seorang saudagar kaya raya, Nyai Singabarong, yang kerap memandanginya di pantai Teluk Cikal.

Dengan dibantu Putri Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, Rara Mendut dan Pranacitra dapat lari dari Mataram. Kisah cinta Rara Mendut dan Pranacitra pun tercium pula oleh Nyai Ajeng, garwa padmi Adipati Wiraguna, yang belakangan jatuh iba, dan turut membantu pelarian mereka. Sayangnya, Wiraguna berhasil menemukan mereka, dan Rara Mendut, Harimau betina dari padang ilalang pantai utara beserta kekasihnya Pranacitra memilih mati diujung keris sang Tumenggung.

Buku Kedua: Genduk Duku, dayang kesayangan Rara Mendut, harus lari dan bersembunyi dari kejaran pasukan Wiraguna.  Dibawah lindungan Bendara Pahitmadu, kakak dari Wiraguna, Genduk Duku turut bersama 2 penawal Pranacitra kembali ke tanah kelahiran Pranacitra di Pekalongan.  Selain bertemu dengan ibunda Pranacitra, Genduk Duku juga bertemu dengan kekasih hatinya, Mas Slamet, teman nelayan den Raranya di Teluk Cikal.

Mesku telah menikah, Genduk duku kerap mendapat godaan dari banyak lelaki berkuasa. Dari mulai seorang Warok, hingga Raden Mas Jibus alias Pangeran Aria Mataran sang Putera Mahkota menginginkan tubuhnya. Dengan segala kepandaiannya, Genduk Duku berhasil “mengusir” para lelaki “iseng” tersebut. Ternyata keplayboyan Raden Mas Jibus tidak berhenti pada seorang Genduk Duku, Sang Putra Mahkota ternyata juga mengincar Putri Tejarukmi,  seorang selir muda belia Tumenggung Wiraguna, “musuh “ lama Genduk Duku. Kembali Genduk Duku berduka, karena kehilangan kekasih hatinya, ditangan orang yang sama dengan pembunuh kakak sekaligus sahabatnya, Rara Mendut.

Buku ketiga: Lusi Lindri, perawan cantik putri Genduk Duku, sudah pasti gemar naik kuda seperti ibunya. Tumbuh besar di puri Tumenggung Singaranu. Suatu hari Kanjeng Ratu Mataram, berkenan memilih Lusi untuk menjadi Trinisat Kenya, pengawal elite Raja Mataram.

Lusi Lindri mulai mengenal dunia telik sandi alias mata-mata, dan menjadi mata-mata yang dipercaya oleh Ratu. Lusi juga mulai mengenal cinta, kepada Hans, putra seorang Belanda, tawanan Mataram dan akhirnya jatuh ke pelukan Peparing, seorang pimpinan pemberontak, duda satu anak. 

Reviewnya nih…

Secara keseluruhan, ceritanya kereeen banget. Girls Power. Ya….kisah Rara Mendut bercerita tentang perjalanan hidup 3 perempuan hebat di masa itu, di masa ketika perempuan tidak ubahnya hanya dianggap sebagai barang yang hanya bisa dimiliki, dipajang, dipakai bahkan dibagikan.  Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, berani mempertahankan prinsip mereka, biarpun harus merelakan kehilangan kesenangan , kenyaman bahkan orang yang sangat mereka cintai. Mereka juga cerdas dan penuh perhitungan dalam melakukan segala hal, contohnya ketika Rara Mendut dipaksa membayar pajak, atau ketika Genduk Duku memberi pelajaran kepada lelaki yang menggodanya, atau ketika Lusi Lindri harus melindungi kekasih hatinya.

Sementara kaum lelaki di sini justru dikisahkan sebagai kaum yang lemah, karena hanya akibat satu perempuan, mereka sampai tidak bisa makan dan tidur, akibat nafsu mereka untuk menguasai  seorang perempuan tidak terlaksana, padahal di medan peperangan , mereka adalah prajurit yang gagah berani.

Rama Mangun menceritakan kisah penuh intrik ini dengan ringan diselingi humor-humor segar, meskipun kadang harus berkonsentrasi penuh saat membaca syair-syair petuah yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Jawa, dan cepat-cepat mencari terjemahannya di catatan kaki. Salut juga pada Rama Mangun yang sebagai seorang lelaki tapi piawai menuliskan tentang perasaan perempuan dalam kisah ini. Meski ada tokoh lelaki “brengsek” , Rama Mangun juga memasukkan tokoh lelaki baik tapi “sableng” seperti  Pangeran Selarong yang menjadi “penyegar”  setelah membaca berlembar-lembar halaman buku ini.

Bukunya yang setebal bantal (799 halaman) memang sempat membuat frustasi, tapi cerita yang disajikan ternyata tidaklah seberat bukunya. Footnote yang untuk sebagian orang dianggap terlalu banyak dan mengganggu, bagi saya pribadi cukup membantu karena repot juga jika harus membolak-balik glossary, yang biasanya disimpan di bagian belakang buku.  

Selain sebagai kolumnis, Romo Mangun juga sempat menjadi Dosen Sejarah Kebudayaan Arsitektur di Universitas Gajah Mada. Hasil karyanya telah terpilih dalam Sayembara “Kincir Emas” yang diselenggarakan Radio Nederland,  cerpen “Mbak Pung” hasil karyanya, menjadi pemenang kedua dalam lomba cerpen majalah Kartini tahun 1981. Romo Mangun meninggal dunia tahun 2000, dimakamkan di Kentungan Yogya karta.


4 komentar: